Menjebak Terjebak
Menebar Angin menui badai
begitulah peribahasa populer dalam kehidupan kita, biasanya berkonotasi negatif
sih ketimbang positif, yang artinya kurang lebih hasil sebanding dengan usaha.
Saya punya pengalaman yang cukup
menghenyakan lebih tepatnya anak saya dan saya sebagai penghuni rumah yang
nantinya sebagai bagian dari cerita ini.
Anak saya sebut saja Jena punya
teman sebut saja Abey, teman seperjuangan dalam merajut cita-cita menjadi “Pengusaha”
mereka berdua akrab banget. Pada suatu sore yang panas si Abey datang berkunjung ke rumah kami,
ketika saya datang menjelang maghrib mereka asyiiik ngobrol serius .... hemmm
pasti rencana jadi “pengusaha” yang selalu jadi topik pembicaraan antara mereka
berdua.
Sebetulnya saya “kepo” apa yang
dibicarakan tapi saya menahan diri untuk tidak “kepo” blassss aja kedatangan
Abey itu terlupakan hingga suatu hari ke rumah kami ada yang membawa ratusan
kilo produk olahan sejenis “nuget-nugetan”..... dan kebetulan yang siap menemui
tamu adalah saya. Ketika ada yang ketok-ketok pintu pagar saya tergopoh-gopoh
ke luar, dan ada seseorang yang membawa berkarung-karung barang makanan olahan
menanyakan Pa Haji Anu dengan alamat rumah kami..... jelas saja saya bingung
dan langsung nolak sambil ngomong “disini bukan rumah Pa Haji anu”, tapi
tiba-tiba anak saya dari dalam keluar (mungkin karena mengdengar ribut-ribut di
pintu luar) dan langsung ngomong “betul pa disini”.
Saya bengong, heran, dan ada rasa
marah kenapa tidak diberitahukan akan ada yang datang ke rumah dengan nama
orang lain.... melihat saya bengong ,
Jena langsung menetralisir keadaan dengan tenang dan bilang pada orang
asing tersebut “bawa masuk barangnya pa”, lalu orang asing tersebut membawa
masuk barang tersebut..... brug-brug suara barang olahan disimpan di ruang tamu
kami yang merangkap ruang keluarga tersebut, orang tersebut sambil bergumam
katanya “huuuh macet ya Bekasi – Depok itu nyaris tidak ketemu ini alamat rumah
ini”.... dibawah tatapan heran, bengong, hati saya ngomong “woow dari Bekasi
pikir saya” ..... untuk menutupi kebengongan, setelah selesai nyimpan barang saya
bilang ke orang tersebut “masuk Pa”. Tetapi orang tersbut menolak tawaran saya
masuk, dan terjadilah transaksi jual beli barang tersebut di pintu sambil
berdiri. Saya tidak tahu berapa jumlahnya, setelah menerima uang dan
menandatangani sesuatu di kertas orang asing tersebut langsung pergi dengan
motornya.
Setelah orang asing itu pergi
saya tetep berdiri dengan tanya di hati “kok mau bisnis besar-besaran gini
tidak ngomong sama saya dan pinjam dari mana modalnya” setelah menghitung
jumlah karung barang selesai Jena ngomong menjelaskan pada saya........”ini
barang titipan si Abey mah nanti malam diambil” katanya jadi barang itu
bisnisnya Abey dan isteri yang selama ini dajalaninya. Lalu Jena menjelaskan “ceritanya
begini mah si Abey merasa lingkup penjualannya di Depok ada yang mengganggu
yaitu dari Bekasi, padahal sudah ada kesepakatan bahwa untuk wilayah depok ya
oleh Depok dan untuk wilayah Bekasi ya
oleh Bekasi, dan ternyata ada kurir melanggar aturan, sehingga Abey mau
menjebak melalui Pa Haji Anu (dengan memakai alamat rumah kita).
Malam itu saya dan isterinya Jena
deg degan, karena sampai malam barang tidak diambil-ambil oleh abey, sampai
saya tidak bisa tidur walaupun ada di kamar tetap ingin barang segera hilang
dari pandangan saya.... dan hati saya berceloteh terus “kenapa ada rencan jebak
menjebak seperti tidak faham saja rizki itu tidak tertukar “ itu pikir saya. Sudah sekitar jam 11.00 malam si Abey baru
datang mengambil barang tersebut, hah leganya hati saya, setelah mereka pergi
saya segera keluar dari kamar, eh ternyata isteri Jena juga keluar. Saya nanya
“kemana ayah si Hafidz?” “ikut ngantar si Abey” katanya dan saya langsung
ngomong “kok mamah khawatir ya, moga ayah Hafidz gak kenapa-kenapa ya” isteri
Jena mengiyakan. Kami tak bisa tidur sebelum Jena kembali ada rasa
khawatir menelipir di hati saya mungkin karena terpengaruh kata “menjebak” dan biasalah
perempuan perasaannya lebay.
Akhirnya Jena sampai rumah, haah
lega saya langsung masuk kamar dan terus menyimpan tanya “kenapa si Abey gak
percaya bahwa rizki gak ketuker ya?” sampai mau menjebak begitu berputar-putar
tanya dalam kepala saya sampai sulit tidur malam itu. Setelah kejadian malam
itu sudah sampai disitu, dan akhirnya
saya dapat melupakan kejadian itu berbilang minggu.... yaaah memang waktu
penyembuh luar biasa, mungkin lebih tepatnya lupa.
Hingga pada sauatu malam isteri
jena ngomong bahwa ayah Hafidz lagi ada masalah yang cukup pelik dan mengancam
keselamatan keluarga..... saya kaget sambil nanya masalah apa. Lalu dia
menceritakan bahwa cerita titipan barang Pa haji yang bernomor handphone
suaminya dan beralamat rumah kita tempo hari ada masalah yaitu uang bayaran
barang yang dititipkan ke kurir “orang asing” tidak dibayarkan ke Perusahaannya.
Masalah itu muncul ketika Perusahaan yang memproduksi barang tersebut menelpon
Jena menagih barang sekitar sekian juta-an, tentu saja Jena kaget luar biasa
dan tentu langsung “tidak terima”. Untuk menyelesaikan masalah tersebut Perusahaan Produk Nuget-nugetan memfasilitasi mempertemukan
Jena dengan “kurir” tersebut. Saat
dipertemukan, kurir tersebut dengan “dingin” mengatakan belum dibayar dan tentu
saja Jena panik ada orang “sedingin itu” melakukan kebohongan di depan Jena
(dan saya menyaksikan dengan kepala dan mata saya si “kurir” orang asing itu
menerima uang dan menghitungnya sambil terus ngeloyor) astaghfirullah ada orang
bisa berbohong secanggih itu.
Setelah kejadian itu, Jena
gelisah sampai kemudian nyari “backing-an” untuk mengantar ke Perusahan
tersbut, hanya sayangnya tidak ketemu dengan se pemilik Perusahaan tersebut
hanya ketemu dengan menejernya yang tidak bisa menyelesaikan masalah. Jena
pulang kerumah dengan membawa
permasalahan “ditipu/diperdaya/dijebak” oleh si kurir itu... dan mencari-cari
sandaran ke orang lain dengan minta pendapat isterinya dulu .... dan isterinya
minta pendapatku.
Saya punya pikiran skenario Jena
dan Abey tidak berhasil menjebak si “kurir” tersebut malah harusnya bersukur
coba bayangkan, jika si kurir pembohong berdarah dingin itu berhasil dipecundangi
oleh pa haji anu alias Jena, pasti akan mengancam paling tidak si kurir sudah
tahu alamat dan no Hp Jena, pasti akan lebih berdarah dingin dalam melakukan pembalasan
merasa terjebak. Saya bergidik memikirkan hal ini dan bertasbih pada Allah ini
adalah skenario Allah dalam melindungi keluarga Jena.
Saya bilang ke isteri Jena ini
peristiwa adalah persahabatan yang mahal yang mempertaruhkan keselamatan,
sebaiknya kita putuskan hentikan berhubungan dengan kuriri penipu berdarah
dingin tersebut dengan cara bayar saja tagihan sekian juta ke perusahan
tersebut, ya setiap sesuatu ada risikonya. Katika ingin diteruskan rasa kesal
kita pada kurir bohong itu, dampaknya keluarga Jena yang was was. Kalau diputus kita rugi uang
yang lumayan, tapi ini risiko yang kecil karena uang bisa dicari minimal bisa
pinjam, tapi kalau rasa aman itu yang sulit dicari dan akan berdampak panajang.
Begitulah sekelumit pengalaman
“mau menjebak malah dijebak”. Moga jadi pelajaran bagi saipa saja yang mau
melangkah dalam melakukan sesuatu terutama dalam berbisnis.... bukankah rugi
dalam berbisnis itu biasa........................... nariiiik napas
panjaaaaaaaaaang.