Saat ini Kementerian Pertanian sedang menggenjot untuk swasembada pangan dan Menteri Pertanian Kabinet KERJA KERJA telah menandatangani janji kerja atau istilah "kereNnya" Fakta Integritas dengan Presiden R.I.
Bapak Presiden memberi waktu dalam 5 tahun harus mampu swasembada pangan khususnya padi, jagung, dan kedelai diakronimkan PAJALAI, dan Mentan menerima tantangan tersebut dengan mengatakan "BERI SAYA WAKTU TIGA TAHUN" ... jeng...jeng......Indonesia bisa swasembada........(Bandung Bonowoso mode-on) akhirnya seluruh jajaran Kemtan dikepruk tak bersisa wajib menyukseskan program peningkatan produksi pajalai....
Tupoksi Kementan yang sedang terus menerus dibenahi, seketika dibabat alias kena tsunami pajalai semua wajib hukumnya menangani Prgram Pajalai.
Saat ini Pajalai sudah berjalan 2 tahun jadi tinggal 1 tahun lagi janji itu, konon katanya untuk produksi padi dianggap berhasil... berhasil.... berhasil.... dalam dua tahun, untuk komoditas lainnya tahun ini dikepruk lagi seluruh jajaran Kementan..... (untuk catatan : para pakar pertanian telah mengingatkan dampak negatif jangka panjang dari monokultur).
Nah untuk rehat sejenak dengan program pajalai yang triliun pendanaannya, mari merenung dengan membaca nasihat Dr. Muhaimin Iqbal :
BILA lahan pertanian tanaman pangan dunia dibagi rata ke
seluruh penduduknya, maka masing-masing mendapatkan bagian 0.22 ha per
penduduk. Tetapi bila lahan yang sama dipersempit khusus Indonesia dan dibagi
juga dengan penduduk Indonesia saja, maka masing-masing penduduk hanya
mendapatkan bagian 0.08 ha per penduduk. Fakta ini merubah persepsi kita
tentang kekayaan alam yang kita miliki, bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki
kelebihan kekayaan alam – kita hanya akan bisa makmur bila kita bekerja sangat
efisien!
Bila hanya dengan melihat luas lahan Indonesia yang
bisa dipakai untuk bercocok tanam, maka Indonesia hanya memiliki luas areal
pertanian 1.28 % dari luas areal pertanian dunia. Sementara itu jumlah penduduk
Indonesia merupakan 3.51 % dari jumlah penduduk dunia, dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata sekitar 1.25% – lebih tinggi pula dari rata-rata
pertumbuhan penduduk dunia yang berada di kisaran 1.15 %. Artinya by
default, orang Indonesia punya (potensi) problem pangan yang lebih besar
dari rata-rata penduduk dunia. Lantas apa solusinya?
Secara sederhananya manusia Indonesia harus bekerja
lebih keras dan lebih cerdas agar hasil pertaniannya bisa meningkat hampir tiga
kali lipat dari hasil rata-rata pertanian penduduk dunia – untuk sekedar
mencapai hasil pertanian yang mencukupi bagi rakyatnya. Dengan kata lain
manusia Indonesia harus bisa bekerja jauh lebih efisien ketimbang rata-rata
penduduk dunia.
Dan ini tentu sudah diupayakan secara maksimal oleh
teman-teman ahli pertanian Indonesia dan juga oleh instansi-instansi yang
terkait. Hasilnya kita ketahui bersama bahwa hingga kini kita masih harus
mengimpor begitu banyak bahan pangan kita mulai dari gandum, susu, daging,
kedelai dlsb.
Dengan trend pertumbuhan penduduk negeri ini yang
cenderung lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata penduduk dunia – bila kita
tidak berbuat sesuatu yang luar biasa di jaman ini – problem generasi mendatang
akan menjadi jauh lebih berat.
Pertama karena tentu rasio antara pendududuk dan
ketersediaan lahan produktif untuk produksi pangan akan terus menurun. Kedua
negeri-negeri yang selama ini menjadi pengekspor bahan pangannya untuk kita –
belum tentu bisa terus mengekspor produk mereka. Disamping kebutuhan negeri
produsen sendiri yang juga meningkat, perebutan produksi pangan mereka dari
negara-negara lain yang juga membutuhkan akan semakin keras persaingannya.
Dalam situasi seperti ini, siapa yang akan bisa
mengatasi masalah yang akan semakin pelik tersebut? Dibutuhkan lebih dari ahli
pertanian atau ahli pangan dalam mengatasi hal ini, dibutuhkan ahli pertanian
atau pangan yang beriman, sabar dan mengerti apa yang harus mereka lakukan.
Dan ini berlaku umum, dalam bidang apapun ketika
posisi kekuatan kita lemah dibandingkan yang lain – baik itu dibidang ekonomi,
politik, pemikiran, peradaban – maka kita membutuhkan kekuatan ekstra untuk
bisa mengungguli musuh atau pesaing-pesaing kita. Keunggulan ektstra itu hanya
bisa dibangun dengan tiga hal tersebut yaitu keimanan, kesabaran dan kepahaman
atas apa yang kita lakukan.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى
الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُواْ مِئَتَيْنِ وَإِن
يَكُن مِّنكُم مِّئَةٌ يَغْلِبُواْ أَلْفاً مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لاَّ يَفْقَهُونَ
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk
berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang
sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS al-Anfal [8]: 65)
Lantas apa hubungannya antara iman, sabar dan
kepahaman itu dengan keunggulan atau kemenangan kita atas orang lain yang tidak
beriman, yang tidak sabar dan tidak mengerti/tidak paham ?
Dengan iman orang akan meyakini bahwa adalah Sang
Pencipta – Yang Maha Kuasa – yang menentukan hasil kerja kita, kita hanya bisa
bekerja tetapi bukan kita penentu hasilnya. Dengan iman pula kita yakin
akan adanya petunjuk yang menuntun kita dalam setiap aspek kehidupan. Hanya
dengan imanlah semangat berjuang kita bisa dikobarkan – tanpa harus
diming-imingi hasil jangka pendek.
Orang yang mengandalkan ilmu dan teknologi-nya semata
untuk mengatasi persoalan hidupnya, mereka akan seperti mengejar fatamorgana –
mereka mengira bahwa ilmu dan teknologinya cukup untuk menjawab segala
persoalan hidup mereka – tetapi nyatanya tidak. Persoalan hidup berlari lebih
kencang ketimbang ilmu dan teknologi manusia yang mengejarnya. Ilmu dan
teknologi manusia tentu saja sangat penting, tetapi itu saja tidak cukup.
Kemudian dengan sabar orang bisa mengendalikan
perasaan dan keinginan-keinginannya, dengan sabar orang bisa mengambil
keputusan berdasarkan akalnya bukan hanya perasaannya, tidak grusa-grusu. Sabar
membuat kita kuat dalam pendirian, kuat dalam tekad, berani mengambil keputusan
dan istiqomah dalam memperjuangkan apa yang kita putuskan.
Dengan sabar orang tidak terganggu akal dan pikirannya
meskipun dia dalam duka dan penderitaan, tidak tergoda untuk memperoleh hasil
jangka pendek dengan mengorbankan tujuan jangka panjang.
Ayat tersebut di atas sekaligus juga membalikkan
persepsi kita selama ini yang terkesan bahwa orang sabar itu cenderung identik
dengan kerja lamban, nrimo dengan hasil seadanya dan sejenisnya. Justru
sebaliknya, bahwa orang sabarlah yang memiliki produktifitas tertinggi dengan
hasil 10 kali lipat dibandingkan dengan orang lain yang tidak sabar.
Bagaimana orang sabar melakukan hal ini? Dia paham
tentang tujuan hidupnya dan paham apa-apa yang harus diperjuangkannya. Orang
yang tidak beriman berjuang untuk keperluan duniawinya semata karena mereka
tidak memahami tujuan hidup yang sesungguhnya. Orang beriman berjuang untuk
mencari keridlaanNya semata dan tidak tergoda untuk hasil jangka pendek.
Lantas apa hubungannya antara ayat di atas dengan
sumber daya alam dan (potensi) problem pangan kita ?
Selama ini kita mengolah tanah dengan tidak ada
bedannya dengan mereka yang tidak beriman – karena juga dari merekalah kita
belajar pertanian. Kita
terobsesi dengan hasil jangka pendek untuk solusi masalah-masalah yang juga
jangka pendek. Sangat sedikit yang berorientasi jangka panjang dan menggunakan
petunjukNya untuk solusi masalah-masalah dalam jangka panjang – once for all,
satu kali solusi untuk selamanya.
Solusi untuk pangan jangka panjang kita antara lain
dapat kita lihat di rangkaian ayat-ayat berikut : “maka hendaklah manusia
itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan
air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami
tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon
kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk
kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS ‘abasa [80]: 24-32)
Dari rangkaian ayat di atas kita tahu bahwa hanya satu
dari lima sumber makanan kita yang memerlukan sawah. Selebihnya tidak harus di
sawah, cukup di lahan-lahan lainnya yang semula tidak subur sekalipun – karena
ada petunjukNya untuk menyuburkan lahan yang mati (QS 36:33).
Rangkaian ayat di atas juga mengindikasikan efisiensi
penggunaan lahan yang kita miliki, bukan hanya tanaman tumpang sari biasa –
tetapi polyculture yang memberikan sejumlah hasil pertanian sekaligus, mix
antara pertanian tanaman semusim untuk bahan pangan, tanaman jangka panjang
juga untuk pangan serta sekaligus lahan gembalaan untuk produksi daging, susu,
pakaian dlsb.
Dengan ini bisa kita melihat, hanya dengan
petunjukNyalah mata kita terbuka lebar – bahwa solusi untuk berbagai masalah
kehidupan itu memang hanya ada di petunjukNya tersebut. Tetapi untuk bisa
menggunakan petunjukNya ini tentu pertama harus kita imani dahulu, yang kedua
harus kita amalkan dengan kesabaran dan yang terakhir kita memang harus tahu
apa yang kita lakukan ini dan mengapa kita melakukannya.
Sabar tidak identik dengan nrimo dan kerja alon-alon,
sabar yang dilandasi dengan keimanan dan kepahaman justru akan meningkatkan
efisiensi umat ini dalam segala bidang kehidupan. InsyaAllah.*
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar